BAB 1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Thyfus abdominalis ( demam tifoid, enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. penyebab penyakit ini adalah salmonella typosa, basil geram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora . mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen O ( somatic, terdiri zat kompleks lipopolisakarida ), antigen H ( flagella) dan antigen Vi. Dalam serum pasien terdapat zat anti (aglutinin ) terdapat tiga macam antigen tersebut (Ngastiyah 2002 )
Insiden demam typoid bervariasi disetiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan, di daerah rural (jawa barat) 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkunggan dengan pembuanggan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkunggan .(Ari W.Sudoyo 2007)
Di Indonesia, thyfus abdominalis terdapat dalam keadaan edemic. Pasien anak yang ditemukan berumur diatas satu tahun sebagian besar pasien yang di rawat dibagian ilmu kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta berumur di atas 5 tahun.
Data yang didapat dari Rekam Medik Rumah Sakit Kota Mataram Lombok Barat. Prevalensi penderita Tifus Abdominalis dalam 8 bulan terakhir tahun 2010, dengan perincian berdasarkan jenis kelamin didapatkan kasus terbanyak adalah sebagai berikut pada bulan Maret jumlah penderita sebanyak 10 penderita dengan perincian, 3 laki-laki, 7 perempuan. Pada bulan April jumlah penderita sebanyak 34 dengan perincian, 22 laki-laki, 12 perempuan. Pada bulan Mei jumlah penderita sebanyak 19 dengan perincian, 7 laki-laki, 12 perempuan. Pada bulan Juni jumlah penderita sebanyak 8 dengan perincian, 5 laki-laki, 3 perempuaan. Pada bulan Juli jumlah penderita sebanyak 5 dengan perincian, 3 laki – laki, 2 perempuan. Pada bulan Agustus jumlah penderita sebanyak 1 dengan jenis kelamin perempuan. Pada bulan September jumlah penderita sebanyak 12 dengan perincian, 4 laki- laki, 8 perempuan. Pada bulan Oktober jumlah penderita sebanyak 28 dengan perincian, 19 laki – laki, 9 perempuan.
Dari data di atas jumlah penderita yang paling banyak adalah pada bulan April 2010 dengan presentasi penderita sebanyak 30,38 %. Hal ini dapat di sebabkan oleh berbagai faktor salah satunya perantaraan makanan dan minuman yang telah terkontaminasi. singkatnya kuman ini terdapat dalam tinja, kemih atau darah .masa ingkubasinya sekitar 10 hari.( Dr.Jan Tambayong,2002 )
Untuk itu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hidup sehat melalui penyuluhan kepada keluarga tentang penting hidup sehat, peningkatan pelayanan kesehatan, dan biaya pengobatan yang lebih relative murah perlu kita perhatikan untuk menurunkan angka morbilitas penyakit Tifus Abdominalis. selain itu,penanganan yang tepat sangat di perlukan yaitu, dengan cara tirah baring total selama demam sampai dengan dua minggu normal kembali, makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein, tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas, obat yang digunakan adalah kloramfenikol 100 mg. (Arif Mansjoer, 2000 )
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Penyusun dapat menerapkan Asuhan Keperawatan pada klien Ny’A’ dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis melalui pendekatan proses keperawatan sesuai standar keperawatan.
1.2.2. Tujuan Khusus
Setelah menyusun Laporan Akhir ini, penulis diharapkan mampu:
a. Menjelaskan konsep dasar penyakit Thyfus Abdominalis mulai dari pengertian, penyebab, pathofisiologi / pathways, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang , penatalaksana dan komplikasi.
b. Melakukan pengkajian pada klien Ny’A’ dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis.
c. Merumuskan diagnose keperawatan pada klien Ny’A’ dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis
d. Menyusun rencana keperawatan pada klien Ny’A’ dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis
e. Melakukan tindakan keperawatan pada klien Ny’A’ dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis
f. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien Ny”A” dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis.
1.3 Tempat dan Waktu
1.3.1 Waktu
Pengambilan kasus dilakukan pada tanggal 5 s/d 8 Agustus 2011
1.3.2 Tempat
Di Ruang Interna III Rumah Sakit Kota Mataram Lombok Barat
1.4 Sistematika Penulisan
Agar lebih mudah memahami isi Laporan Akhir ini. penulis membagi penyusunan dalam 4 bab yang saling berkaitan satu sama lain yaitu ;
Bab 1, pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, tempat dan waktu serta sistematika penyusunan.
Bab 2, adalah tinjauan teori yang menguraikan tentang konsep dasar penyakit yang terdiri dari pengertia, anatomi fisiologi, etiologi, pathofisiologi / pathways, tanda dan gejala, penatalaksanaana, komplikasi dan prognosis serta konsep asuhan keperawatan, mulai dari pengkajian, diagnose, perencanaan, penatalaksanaan, evaluasi keperawatan.
Bab 3, adalah berisi Laporan Kasus, pada Laporan Kasus ini,penyusun membuat Asuhan Keperawatan secara utuh tentang kasus yang di ambil mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan, dan evaluasi.
Bab 4, pada bab ini berisi kesimpulan dan saran. kesimpulan merupakan sintesis dari analisa kasus yang sekurang- kurangnya terdiri dari atas (1) jawaban tujuan penelitian,(2) hal yang baru di temukan atau pernyataan tentang suatu masalah yang memerlukan penelitian lebih lanjut, (3) pemaknaan teoritis dari hal baru yang di temukan. Saran merupakan impikasi hasil penemuan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan penggunaan praktek . sekurang-kurangnya memberi saran bagi penulis selanjutnya,sebagai hasil penulis atas keterbatasan penyusunan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
TINJAUAN TEORI
2.1. Konsep Dasar Thyfus Abdominalis
2.1.1. Pengertian
Thyfus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran.(Arif Mansjoer,2000)
Thyfus Abdominalis merupakan penyakit infeksi bakteri yang hebat yang diawali di selaput lendir usus dan jika tidak segera diobati secara progresif dapat menyerbu jaringan diseluruh tubuh. (Jan Tambayong, 2002).
Demam Typhoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi Akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran ( Nursalam, 2005 ).
Thyfus Abdominalis (demam typoid, enteric fever) ialah, penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. ( Ngastiyah , 2002 )
2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan
a. Anatomi Sistem Pencernaan
Organ yang termasuk saluran pencernaan antara lain: (Syaifudin, 2006)
1). Oris (Mulut)
Mulut adalah permulaan dari saluran pencernaan yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi, bibir dan pipi di bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi sisinya oleh tulang maxilaris, palatum dan mandibularis dibagian belakang bersambung dengan fharing. Atap mulut di bentuk oleh palatum yang terdiri atas dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah depan tulang maxilaris dan lebih ke belakang terdiri dari dua tulang palatum. Palatum mole (palatum lunak) terletak dibagian belakang yang merupakan lipatan mengngantung yang dapat bergerak, terdiri dari jaringan fibrosa dan selaput lendir. Sedangkan lidah terletak di lantainya dan terikat pada tulang hioid, di garis tengah sebuah lipatan memberan mukosa atau (prenulum linguas) menyambung lidah dengan lantai mulut.
2). Fharing (Tenggorokan)
Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan. Di dalam lengkungan fharing terdapat tonsil, yaitu kalenjar limfe yang banyak mengandung limposit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. Faring terletak di belakang hidung, mulut, dan laring. Fharing merupakan saluran berbentuk kerucut dan bahan memberan berotot (muskulo memberanosa) dengan bagian terlebar di sebelah atas dan berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebrata servikal ke IV, yaitu ketinggian tulang rawan krekoid, tempat fharing bersambung dengan esofagus. Panjang fharing kira-kira 7 cm di bagi atas tiga bagian yaitu nasofharing bermuara pada tuba yang menghubungkan tekak dengan gendang telinga. Pada bagian media di sebut dengan orofaring, bagian ini terbatas sampai di akar lidah, sedangkan di bagian anterior di sebut dengan laringofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring.
3). Esophagus (Kerongkongan)
Merupakan saluran yang menghubungkan antara tekak dengan lambung, panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung. lapisan dinding dari dalam keluar adalah lapisan Selaput lendir, lapisan submukosa, lapisan otot melingkar sirkular dan lapisan otot memanjang longitudinal.
Eshopagus terletak dibelakang trakhea dan didepan tulang punggung setelah mulalui thoraks menembus diafragma masuk kedalam abdomen menyambung dengan lambung.
4). Gaster (Lambung)
Merupakan bagian saluran yang dapat mengembang paling banyak terutama didaerah epigastrik lambung terletak terutama di daerah epigastrik dan sebagian disebelah kiri daerah hopokondria dan umbilical. lambung terdiri dari bagian atas yaitu fundus ventrikuli bagian yang menonjol keatas terletak disebelah kiri osteom kardium, suatu lekukan pada bagian bawah kurpatura minor, susunan lapisan lambung dari dalam keluar terdiri dari lapisan selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot miring, lapisan otot panjang, lapisan jaringan ikat atau serosa.
5). Intestinum Minor (Usus Halus)
Usus halus adalah tabung yang panjangnya + 2,5 m usus alus memanjang dari lambung sampai katup iliokolika tempat tersambungnya dengan usus besar. Usus halus terletak didaerah umbilicus dan dikelilingi oleh usus dalam beberapa bagian, yaitu:
Duodenum merupakan bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm berbentuk sepatu kuda dan kepalanya megelilingi kepala pankreas saluran empedu dan saluran pankreas masuk kedalam duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula hepatopangkeratika atau ampula fateri.
Jejenum menempati dua perlima sebelah atas dari usus alus dengan panjang + 2,3 m dari ilium.
Ilium dan jejenum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas, di kenal sebagai misentrium. Dinding usus halus terdiri atas empat lapisan yang sama dengan lambung, dinding luar adalah membran serosa, yaitu peritonium yang membalut usus dengan erat. Dinding lapisan berotot terdiri atas dua lapisan serabut longitudinal dan di bawahnya ada lapisan tebal teridiri atas serabut sirkuler. Fungsi usus halus adalah menerima zat-zat makanan yang sudah di cerna untuk di serap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran limfe.
6). Intestinum Mayor (Usus Besar)
Panjangnya ± 1,5 meter yang merupakan sambungan dari usus halus, mulai dari katub ilokolik atau ileosekal yaitu tempat yang di lewati oleh sisa makanan. Fungsi usus besar adalah menyerap air dari makanan, tempat tinggal dari bakteri coli dan sebagai tempat feces. Lapisan usus besar terdiri dari empat lapisan dari dalam keluar, yaitu selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang dan jaringan ikat.
7. Rektum & Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda buang air besar.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Suatu cincin berotot (sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup. Menurut Soegeng Soegijanto (2002), gambaran demam tifoid sering kali tidak khas dan sangat bervariasi. Hingga kini penelitian dilakukan diberbagai tempat untuk mengetahua gejala dan tanda klinis demam tifoid pada anak.
Berbagai penelitian tersebut menyimpulakan hasil yang bervariasi bergantung pada berbagai faktor diantaranya: geografis, umur penderita, metode pemeriksaan penunjang yang dilakukan, strain yang resisten dll.
b. Fisiologi Pencernaan
Sistem pencernaan (mulai dari mulut sampai anus) berfungsi sebagai berikut :
1) Menerima makanan
2) Memecah makanan menjadi zat-zat gizi (suatu proses yang disebut pencernaan)
3) Menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah
4) Membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna dari tubuh.
Jumlah makanan yang dicerna seseorang dan jenisnya adalah tergantung dari kemauan ddan seleranya. Mekanisme ini ada dalam tubuh seseorang dan merupakan sistem pengaturan yang otomatis.
Makanan masuk melalui mulut kemudian dikunyah oleh gigi, gigi anterior (insisivus) menyediakan kerja memotong yang kuat dan gigi posterior (molar), kerja menggiling. Semua otot rahang yang bekerja dengan bersama- sama dapat mengatupkan gigi dengan kekuatan sebesar 55 pound pada insisivus dan 200 pound pada molar.
Setelah itu makanan ditelan, menelan merupakan mekanisme yang kompleks, terutama faring yang hampir setiap saat melakukan fungsi lain disamping menelan makanan dan hanya diubah dalam beberapa detik dalam traktus untuk mendorong makanan.
Esophagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan dari faring kelmbung dan gerakannya diatur secara khusus untuk melakukan fungsi tersebut.
Fungsi lambung ada tiga, yaitu penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses didalam duodenum, pencampuran makan ini dengan sekresi setengan cair yang disebut dengan kimus. Pengosongan makanan dengan lamat dari lambung ke usus halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus halus.
Makan akan digerakkan dengan melakukan gerakan pristaltik. Pristaltik usus yang normal adalah 12 kali per menit. Makanan kemudian akan didorong ke usus besar dan akan diabsorpsi baik air, elektrolit, dan penimbunan bahan feces di rektum sampai dapat dikeluarkan melalui anus melalui proses defekasi.
2.1.3. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah salmonella typhosa yang mempunyai ciri- ciri sebagai berikut :
a. Basil garam negatif yang begerak dengan bulu getar dan tidak berspora.
b. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu, antigen O (somatiik yang terdiri zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan antigen Vi dalam serum pasien terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.(Nursalam dkk, 2005)
Selain itu penyakit tipus abdomnalis juga bias didukung oleh faktor-faktor antara lain : pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan yang relative rendah, penyediaan air bersih yang tidak memadai. Keluarga dengan hygiene sanitasi yang rendah, pemasalahan pada identifikasi dan pelaksanaan karier, keterlambatan membuat diagnosis yang pasti, pebogenesis dan faktor virulensi yang belum dimengerti sepenuhnya serta belum tersedianya vaksin yang efektif, aman dan murah (Panyakit dalam Soegeng Soegijanto, 2002)
2.1.4. Patofisiologi
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman yang terkontaminasi, setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa.
Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus.
Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin. Endotoksin ini merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokines yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul terutama dalam usus halus, jaringan limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ yang terinfeksi.
Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada dinding ileum terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi intestinal. Bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. (Arif Mansjoer, 2001).
2.1.5. Pathways
Salmonell typhosa
Saluran pencernaan
Diserap oleh usus halus
Bakteri memasuki aliran darah sistemik
2.1.6. Tanda dan Gejala
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini di temukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan menigkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 10c tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta teremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somolen stupor, koma, delerium, atau psikosis. Roseolae jarang di temukan pada orang Indonesia. (Ngastiyah,2005).
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering di temukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi skunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah darah pada demam tifoid dapat meningkat.
b. Uji Widal
Uji widal di lakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakanpada uji widal adalah suspensi Salmonelle yang sudah dimatikan dan di olah di laboratorium.
Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
1) Aglutin in O ( dari tubuh kuman )
2) Aglutinin H ( flagela kuman )
3) Aglutinin Vi ( simpai kuman )
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap di jumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.
c. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positf memastikan demam tifoid, akan tertapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang di biak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang di ambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan kedalam media cair empedu
3) Riwayat vaksinal. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan anti bodi dalam darah pasien. Anti bodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. (Aru W.Sudoyo dkk,2007)
2.1.8. Komplikasi
Pada usus halus. Umumnya jarang terjadi tetapi bila terjadi sering fatal
a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda- tanda renjatan.
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonium, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang di buat dalam keadaan tegak
c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang.
Komplikasi di luar usus. Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia), yaitu meningitis, kolesistisis, ensefalopati, dan lain- lain. Terjadi karena infeksi skunder, yaitu bronkopneumonia. (Ngastiyah, 2005).
2.2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Diagnosa Medis Thyfus Abdominalis
Proses keperawatan adalah metode asuahan keperawatan yang ilmiah yang di gunakan perawat untuk memenuhi kebutuhan pasien dalam mencapai atau mempertahankan bio, psiko, sosial dan spiritual yang optimal melalui tahap pengkajian, identifikasi diagnosa kepeawatan, penentuan rencana keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan serta mengevaluasi tindakan keperawatan (Suarli, 2009).
Menurut Ali Zaidin (2002) proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu: pengakajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
Menurut Nursalam (2001) Proses keperawatan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.
2.2.1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dann mengidentifikasi status kesehatan klien. ( Isti Handayaningsih, 2009).
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan yang dan keperawatan yang dihadapi klien baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual dapat ditentukan. (Zaidin Ali, 2002).
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu ( Nursalam, 2001).
Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, oleh karena itu pengkajian yang akurat, lengkap akurat, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan membberikan pelayanan keperawatan sesuai respon individu, sebagaimana yang telah di tentukan dalam standar praktik keperawatan. Komponen tahap pengkajian adalah pengumpulan data, validasi datadan identifikasi pola atau divisi. ( Nursalam, 2001).
Pengkajian merupaka langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapat di proleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
1) Identitas Klien
a) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnose medis.
b) Identitas penanggung jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa.
2) Keluhan utama
Adanya rasa mual, muntah, sakit atau nyeri epigastrium sampai kejang perut, demam sampai kesadaran menurun.
3) Riwayat penyakit sekarang
Berisi tentang kapan mulai terjadinya sakit serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat medis yang pernah didapat maupun obat-obatan yang bias digunakan oleh penderita.
5) Riwayat penyakit keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat apakah ada salah satu anggota keluarga yang juga menderita typhoid fever
6) Pola kebiasan sehari-hari
Meliputi informasi mengenai perilaku, perasaan dan emosi yang dialami oleh penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita
7) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Baik, sadar (tanpa dehidrasi)
Gelisah, rewel (dehidrasi ringan dan sedang)
Lesu, lunglai tau tidak sadar (dehidrasi berat)
b) Kesadaran biasanya menurun pada dehidrasi sedang, berat
c) Tanda-tanda vital : suhu biasanya meningkat/hipertermi (39-40˚c)
d) Berat badan menurun
e) Pemeriksaan Fisik (Body Of Sistem)
Pemeriksaan Persistem pada pasien Typus Abdominalis adalah sebagai berikut:
1) B1 (Breathing)
Adakah sesak nafas, batuk, seputum, nyeri dada. Pada Typus Abdominalis frekuensi pernapasan meningkat
2) B2 (Blood)
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardia / bradikardia, hipotensi, aritmia, kardiomegali.
3) B3 (Brain)
Terjadi penurunan sesnsoris, parasthesia, anesthesia, letargi, mengantuk, kacau mental, disorientasi. Meliputi keadaan penderita, kesadran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda-tanda vital.
4) B4 (Bladder)
Oliguria, anuria, retensi urine, inkontinensia urine, rasa sakit atau panas saat berkemih.
5) B5 (Bowel), perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas, nyeri epigastrium.
Mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrasi
6) B6 (Bone)
Turgor kulit menurun, suhu badan meningkat. Perubahan berat badan, cepat lelah, lemah dan nyeri epigastrium.
8) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, yaitu: (Nursalam, 2005).
a) Pada periksaan darah tepi terhadap gambaran leucopenia, limpositosis relative, dan anepsinofilla pada permukaan sakit.
b) Darah untuk kultur ( biakan, empedu) dan widal
c) Biakan empedu hasil salmonella tyhposa dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urine dan feces.
d) Periksaan widal untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan adalah titer zat anti terhadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan progresif.
9) Penatalaksanaan
Dilakuan bila klinis menyokong kearah difteria tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Tata laksana umum dengan tanda baring isolasi pasien, pengawasan keras atas kemungkinan komplikasi, antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu. Pasien dirawat selama 3-4 minggu. Sedangkan secara khusus.
a) Antibiotic-penisilin prokain 50.000 untuk/kg BB/hari sampai 10 hari bila alergi, berikan eritromisin 40 mg/kg BB/hari. Bila dilakukan trakeosiomil, tambahkan kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis.
b) Kortikosteroid-digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah komplikasi miokaratis. Diberikan prednisone 2 mg/kg BB/hari selama 3 minggu yang dihentikan secara bertahap (tapering off).
c) Bila ada komplikasi paresis otot dapat diberikan strikain ¼ mg dan vitamin B, 100 mg setiap hari, 10 hari berturut-turut. (Arif Mansjor dkk, 2001).
2.2.2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Pusdiklat Depkes RI diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas , singkat dan pasti tentang masalah klien serta pengembangannya yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan ( Zaidin Ali , 2002 )
Menurut Nanda yang dikutip oleh Siti Handayaningsih (2009),menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan,aktual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat.
Menurut A. Aziz Alimul Hidayat ( 2007 ), tahap diagnosis keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses khidupan yang aktual atau potensial.
Klasifikasi diagnosa keperawatan di bagi menjadi 5 kelompok (Carpenito, 2000) yaitu:
a. Diagnosa aktual
Diagnosa aktual adalah masalah keperawatan yang sedang di alami oleh klien dan memerlukan bantuan dari perawat.
b. Diagnosa resiko
Diagnosa resiko adalah masalah keperawatan yang belum terjadi tetapi tanda untuk menjadi masalah keperawatan aktual dapat terjadi dengan cepat apabila tidak segera mendapatkan batuan keperawatan.
c. Diagnosa Kemungkinan/ Possible
Diagnosa kemungkinan adalah diagnosa keperawatan yang menggambarkan masalah yanng mungkin terjadi tetapi masih memerlukan data tambahan, biasanya tanda/gejala belum ada tetapi faktor penyebab sudah ada
d. Diagnosa Potensial Wellness
Diagnosa potensial wellnes adalah keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah kesehatan akan dapat terjadi jika tidak di lakukan intervensi keperawatan. Saat ini masalah belum tetapi etiologi sudah ada.
e. Diagnosa syndrome
Diagnosa syndrome adalah diagnosa yang terdiri dari kelompok.
Diagnosa keperawatan aktual dan resiko tinggi yang di perkirakan akan muncul atau timbul karena suatu kejadian atau situasi tertentuang lazim muncul pada klien dengan typoid (Nanda, 2007-2008) adalah:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella thiposa
b. Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan pemasukka yang kurang, mual, muntah/pengeluaran yang berlabihan, diare, panas tubuh.
c. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang aibat mual, muntah, anoreksia, atau ataupun yang berlebihan akibat diare.
d. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.
e. Konstipasi berhubungan dengan proses peradangan pada dinding usus halus.
2.2.3. Rencana Tindakan Keperawatan
Menurut mayer intervensi keperawatan yaitu pengkajian dan menentukan masalah yang sistematis, penentuan tujuan, serta strategi pelaksaan pemecahan masalah (Zaidin Ali, 2001).
Untuk mengevaluasi rencana tindakan keperawatan, maka ada beberapa komponen yang perlu di perhatikan: (Nusalam, 2001)
Karena panjangnya KTI ini Lengkapnya berbentuk file .doc silahkan klik disini untuk download
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini di temukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan menigkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 10c tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta teremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somolen stupor, koma, delerium, atau psikosis. Roseolae jarang di temukan pada orang Indonesia. (Ngastiyah,2005).
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering di temukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi skunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah darah pada demam tifoid dapat meningkat.
b. Uji Widal
Uji widal di lakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakanpada uji widal adalah suspensi Salmonelle yang sudah dimatikan dan di olah di laboratorium.
Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
1) Aglutin in O ( dari tubuh kuman )
2) Aglutinin H ( flagela kuman )
3) Aglutinin Vi ( simpai kuman )
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap di jumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.
c. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positf memastikan demam tifoid, akan tertapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang di biak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang di ambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan kedalam media cair empedu
3) Riwayat vaksinal. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan anti bodi dalam darah pasien. Anti bodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. (Aru W.Sudoyo dkk,2007)
2.1.8. Komplikasi
Pada usus halus. Umumnya jarang terjadi tetapi bila terjadi sering fatal
a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda- tanda renjatan.
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonium, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang di buat dalam keadaan tegak
c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang.
Komplikasi di luar usus. Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia), yaitu meningitis, kolesistisis, ensefalopati, dan lain- lain. Terjadi karena infeksi skunder, yaitu bronkopneumonia. (Ngastiyah, 2005).
2.2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Diagnosa Medis Thyfus Abdominalis
Proses keperawatan adalah metode asuahan keperawatan yang ilmiah yang di gunakan perawat untuk memenuhi kebutuhan pasien dalam mencapai atau mempertahankan bio, psiko, sosial dan spiritual yang optimal melalui tahap pengkajian, identifikasi diagnosa kepeawatan, penentuan rencana keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan serta mengevaluasi tindakan keperawatan (Suarli, 2009).
Menurut Ali Zaidin (2002) proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu: pengakajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
Menurut Nursalam (2001) Proses keperawatan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.
2.2.1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dann mengidentifikasi status kesehatan klien. ( Isti Handayaningsih, 2009).
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan yang dan keperawatan yang dihadapi klien baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual dapat ditentukan. (Zaidin Ali, 2002).
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu ( Nursalam, 2001).
Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, oleh karena itu pengkajian yang akurat, lengkap akurat, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan membberikan pelayanan keperawatan sesuai respon individu, sebagaimana yang telah di tentukan dalam standar praktik keperawatan. Komponen tahap pengkajian adalah pengumpulan data, validasi datadan identifikasi pola atau divisi. ( Nursalam, 2001).
Pengkajian merupaka langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapat di proleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
1) Identitas Klien
a) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnose medis.
b) Identitas penanggung jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa.
2) Keluhan utama
Adanya rasa mual, muntah, sakit atau nyeri epigastrium sampai kejang perut, demam sampai kesadaran menurun.
3) Riwayat penyakit sekarang
Berisi tentang kapan mulai terjadinya sakit serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat medis yang pernah didapat maupun obat-obatan yang bias digunakan oleh penderita.
5) Riwayat penyakit keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat apakah ada salah satu anggota keluarga yang juga menderita typhoid fever
6) Pola kebiasan sehari-hari
Meliputi informasi mengenai perilaku, perasaan dan emosi yang dialami oleh penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita
7) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Baik, sadar (tanpa dehidrasi)
Gelisah, rewel (dehidrasi ringan dan sedang)
Lesu, lunglai tau tidak sadar (dehidrasi berat)
b) Kesadaran biasanya menurun pada dehidrasi sedang, berat
c) Tanda-tanda vital : suhu biasanya meningkat/hipertermi (39-40˚c)
d) Berat badan menurun
e) Pemeriksaan Fisik (Body Of Sistem)
Pemeriksaan Persistem pada pasien Typus Abdominalis adalah sebagai berikut:
1) B1 (Breathing)
Adakah sesak nafas, batuk, seputum, nyeri dada. Pada Typus Abdominalis frekuensi pernapasan meningkat
2) B2 (Blood)
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardia / bradikardia, hipotensi, aritmia, kardiomegali.
3) B3 (Brain)
Terjadi penurunan sesnsoris, parasthesia, anesthesia, letargi, mengantuk, kacau mental, disorientasi. Meliputi keadaan penderita, kesadran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda-tanda vital.
4) B4 (Bladder)
Oliguria, anuria, retensi urine, inkontinensia urine, rasa sakit atau panas saat berkemih.
5) B5 (Bowel), perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas, nyeri epigastrium.
Mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrasi
6) B6 (Bone)
Turgor kulit menurun, suhu badan meningkat. Perubahan berat badan, cepat lelah, lemah dan nyeri epigastrium.
8) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, yaitu: (Nursalam, 2005).
a) Pada periksaan darah tepi terhadap gambaran leucopenia, limpositosis relative, dan anepsinofilla pada permukaan sakit.
b) Darah untuk kultur ( biakan, empedu) dan widal
c) Biakan empedu hasil salmonella tyhposa dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urine dan feces.
d) Periksaan widal untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan adalah titer zat anti terhadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan progresif.
9) Penatalaksanaan
Dilakuan bila klinis menyokong kearah difteria tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Tata laksana umum dengan tanda baring isolasi pasien, pengawasan keras atas kemungkinan komplikasi, antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu. Pasien dirawat selama 3-4 minggu. Sedangkan secara khusus.
a) Antibiotic-penisilin prokain 50.000 untuk/kg BB/hari sampai 10 hari bila alergi, berikan eritromisin 40 mg/kg BB/hari. Bila dilakukan trakeosiomil, tambahkan kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis.
b) Kortikosteroid-digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah komplikasi miokaratis. Diberikan prednisone 2 mg/kg BB/hari selama 3 minggu yang dihentikan secara bertahap (tapering off).
c) Bila ada komplikasi paresis otot dapat diberikan strikain ¼ mg dan vitamin B, 100 mg setiap hari, 10 hari berturut-turut. (Arif Mansjor dkk, 2001).
2.2.2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Pusdiklat Depkes RI diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas , singkat dan pasti tentang masalah klien serta pengembangannya yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan ( Zaidin Ali , 2002 )
Menurut Nanda yang dikutip oleh Siti Handayaningsih (2009),menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan,aktual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat.
Menurut A. Aziz Alimul Hidayat ( 2007 ), tahap diagnosis keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses khidupan yang aktual atau potensial.
Klasifikasi diagnosa keperawatan di bagi menjadi 5 kelompok (Carpenito, 2000) yaitu:
a. Diagnosa aktual
Diagnosa aktual adalah masalah keperawatan yang sedang di alami oleh klien dan memerlukan bantuan dari perawat.
b. Diagnosa resiko
Diagnosa resiko adalah masalah keperawatan yang belum terjadi tetapi tanda untuk menjadi masalah keperawatan aktual dapat terjadi dengan cepat apabila tidak segera mendapatkan batuan keperawatan.
c. Diagnosa Kemungkinan/ Possible
Diagnosa kemungkinan adalah diagnosa keperawatan yang menggambarkan masalah yanng mungkin terjadi tetapi masih memerlukan data tambahan, biasanya tanda/gejala belum ada tetapi faktor penyebab sudah ada
d. Diagnosa Potensial Wellness
Diagnosa potensial wellnes adalah keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah kesehatan akan dapat terjadi jika tidak di lakukan intervensi keperawatan. Saat ini masalah belum tetapi etiologi sudah ada.
e. Diagnosa syndrome
Diagnosa syndrome adalah diagnosa yang terdiri dari kelompok.
Diagnosa keperawatan aktual dan resiko tinggi yang di perkirakan akan muncul atau timbul karena suatu kejadian atau situasi tertentuang lazim muncul pada klien dengan typoid (Nanda, 2007-2008) adalah:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella thiposa
b. Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan pemasukka yang kurang, mual, muntah/pengeluaran yang berlabihan, diare, panas tubuh.
c. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang aibat mual, muntah, anoreksia, atau ataupun yang berlebihan akibat diare.
d. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.
e. Konstipasi berhubungan dengan proses peradangan pada dinding usus halus.
2.2.3. Rencana Tindakan Keperawatan
Menurut mayer intervensi keperawatan yaitu pengkajian dan menentukan masalah yang sistematis, penentuan tujuan, serta strategi pelaksaan pemecahan masalah (Zaidin Ali, 2001).
Untuk mengevaluasi rencana tindakan keperawatan, maka ada beberapa komponen yang perlu di perhatikan: (Nusalam, 2001)
Karena panjangnya KTI ini Lengkapnya berbentuk file .doc silahkan klik disini untuk download
1 comments:
informasi yang sangat bermanfaat, terimakasih banyak..
Posting Komentar